Jun 23, 2010

Belum Masa Memetik Buah

Saya sering mengandaikan, negeri tercinta ini sebagai sebuah lahan. Tanah yang subur, makmur dan penuh harapan. Tapi, sebagai lahan garapan, Indonesia yang begitu kaya ini telah terlalu lama dirusak.

Mari kita hitung dengan cermat, berapa kuantitas dan kualitas kerusakan yang dialami dan diderita Indonesia. Negeri ini, tanah, air dan rakyatnya dikuasai penjajah Belanda, konon ratusan tahun lamanya. Sebut saja 350 tahun, begitu yang tertera dalam buku pelajaran sejarah di sekolah. Kualitas kerusakannya, juga luar biasa, tak hanya materi. Terjadi politik adu domba, sekulerisasi hukum dan di bidang sosial lainnya.

Lalu Inggris, meski tidak terlalu lama, hanya peralihan kekuasaan saja di bawah Rafless. Konon, dijajah Inggris adalah keberuntungan tersendiri. Sebab, Inggris disebut mencerdaskan bangsa jajahannya. Tapi tetap saja, namanya penjajah selalu memberikan lebih banyak kerugian dibanding manfaatnya untuk Indonesia, bangsa yang dijajahnya.

Kemudian dua setengah tahun di bawah kekuasaan Dai Nippon, bangsa ini sudah merasakan betapa pahitnya dipaksa menyembah matahari setiap pagi. Ritual ini biasa disebut seikere. Siapa saja yang menolak seikere, Kenpetai akan menyiksanya. Belum lagi kerja paksa bernama Romusa dan perkosaan perempuan besar-besaran dalam sejarah Indonesia yang bernama Jugun Ianfu.

Sebelum merdeka, bangsa ini punya luka besar yang menganga. Ketika merdeka, sepintas lalu seolah kita punya kesempatan untuk mengobati luka dan mengolah lahan secara berdaulat. Tapi lagi-lagi kekuasaan Orde Lama, tak terlalu bisa kita sebut sebagai kekuatan penyelamat. Kekecewaan terjadi di sana-sini, bahkan di akhir masa rezimnya, negeri ini diajak untuk menjauh dari Tuhan dengan mengakui sistem komunis sebagai salah satu pilihan.

Tumbang Orde Lama, tumbuh Orde Baru. Lagi-Lagi negeri ini menyambutnya dengan penuh harapan. Tapi rupanya, selama 32 tahun negeri ini diolah semaunya, seolah-olah lahan milik pribadi dan bukan milik bersama. Dan setelah rezim tumbang, yang tersisa kini, hanya kubang yang besar. Hutangnya sampai beranak cucu.

Kurang lebih, baru 12 tahun, semangat kebaikan mendapat tempat dan kesempatan. Reformasi, gerakan Islam tumbuh dengan berbagai wadah dan wajahnya. Ada yang berbentuk partai, ada pula yang merintis gerakan, tak kurang jumlahnya yang mengambil manhaj (metode) organisasi kemasyarakatan.

Mereka kerja membangun negeri, mengolah lahan dengan semangat kebaikan. Baru 12 tahun, sejak 1998. Itupun ditingkahi dengan segala macam rintangan yang tak pernah ringan. Ada gerakan kebebasan, ada geliat globalisasi dan ada arus besar pemikiran yang membahayakan.

Baru 12 tahun. Tanahnya, belum lagi subur. Kita masih harus menata lagi irigasi dan pematang. Kita masih harus menyiangi lahan, siang dan malam. Memupuknya. Menanam benih unggulan. Juga menjaganya dari wereng dan hama lainnya yang siap mengancam.

Tapi, sungguh ironis. Di tengah proses berat sedemikian rupa, ternyata ada saudara-saudara kita yang merasa sudah tiba saatnya memetik buah. Bahkan lebih menyeramkan lagi. Sebagian dari mereka ada yang menganggap, sudah tiba masanya panen raya.

Dengan segala dalil, mereka membangun dalih agar mendapatkan pembenaran untuk menikmati usaha yang sedang sama-sama dilakukan. Kata-kata memukau diumbar obral. Ada yang bilang strategi. Ada yang menyebut diplomasi. Bahkan tak sedikit yang mengatakan, bahwa idealisme dan pragmatisme adalah satu kesatuan yang harus selalu bersandingan.

Apapun yang kita lakukan, dimanapun kita melakukannya, seharusnya kita hanya menggunakan satu ukuran. Untung rugi yang kita dapatkan harus diukur, apakah sama dengan untung rugi yang didapatkan Islam. Bukan atas pertimbangan untung rugi politik, diplomatik, juga strategik. Karena, apa yang dianggap untung oleh kacamata strategi dan politik, belum tentu simetris dalam arti ideologik.

Pejuang dan pahlawan, seharusnya tak demikian. Mereka punya cita-cita kemenangan, dan bekerja untuk mewujudkannya. Tapi pejuang dan pahlawan sejati, tak pernah mencuri kemenangan untuk dirinya sendiri. Bahkan mereka tak pernah berpikir untuk ikut menikmati perjuangan yang dilakukan. Mereka adalah patriot sejati.

Terlalu lama negeri ini dirusak. Dan perlu waktu yang lebih lama lagi untuk memperbaiki dan menyuburkannya kembali. Sekarang belum masanya memetik buah, apalagi panen raya. Jangan menjadi satu lagi golongan yang merusak negeri yang hari ini dititipkan. Bekerja saja. Berjuang saja. Allah tidak pernah lupa. Allah tak mungkin salah. Dia Maha Tahu, siapa melakukan apa. Dan pasti akan membalasnya.

2 comments:

  1. negeri ini, kemerdekaan ini, kekayaan alam ini adalah anugerah sekaligus amanah, dimana keduanya akan diminta pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah. Maka barang siapa merusaknya, bersiap-siaplah menghadapi pengadilan Nya.

    ReplyDelete
  2. subhanaLLAH, insyaALLAH tadz..kita kan jaga bersama amanah ini

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya !

Disqus for "JANNAH" We're Coming !!!